Permainan egrang sudah dikenal sebelum kemerdekaan 1945. Sebagai bukti, entri egrang sudah terekam di dalam Baoesastra Jawa karangan Poerwadarminta. Buku itu diterbitkan pada 1939, beberapa tahun sebelum diproklamasikannya kemerdekaan kita. Di situ disebutkan kata egrang-egrangan, diartikan dolanan dengan menggunakan alat yang dinamakan egrang. Egrang sendiri diberi makna bambu atau kayu yang diberi pijakan (untuk kaki) agar kaki leluasa bergerak berjalan.
Egrang dibuat secara sederhana dengan memanfaatkan potensi alam. Umumnya egrang menggunakan dua batang bambu, dengan panjang lebih dari satu meter. Beberapa sentimeter dari atas tanah, dibuatkan pijakan. Juga dari bambu yang dipotong melebihi ukuran panjang telapak kaki. Lewat pijakan itulah anak-anak berjalan atau berlari.
Di perdesaan bambu banyak tumbuh di pekarangan rumah atau di pinggir-pinggir sungai. Tidak heran kalau permainan tradisional ini lebih sering dilakukan anak-anak perdesaan daripada anak-anak perkotaan. Bambu yang biasa dipakai untuk permainan ini adalah bambu apus atau bambu wulung. Sebenarnya banyak jenis bambu tumbuh di negeri kita. Misalnya ada bambu petung atau bambu ori yang lebih besar. Namun bambu jenis lain mudah patah, sehingga jarang sekali digunakan, kecuali dalam keadaan terpaksa.
Egrang bisa dimainkan secara individu atau kelompok. Di perdesaan egrang dimainkan siang hari sepulang sekolah atau di saat menggembala ternak. Permainan egrang lebih sering dipakai untuk bersantai. Hanya pada saat-saat tertentu egrang digunakan untuk permainan perlombaan.
Kunci utama bermain egrang adalah menjaga keseimbangan badan. Tanpa bisa menjaga keseimbangan, si pemain akan sering jatuh.
Bentuk egrang bisa pendek, bisa pula tinggi. Soal ukuran, biasanya sangat tergantung kepada tinggi badan si pemain. Yang pasti, bila orang bermain egrang, maka posisi tubuhnya menjadi jauh lebih tinggi daripada tubuh yang sebenarnya. Persis seperti orang berdiri di tangga atau naik di atas meja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar